Menteri Antidiskriminasi


TANPA menjalani proses peradilan, dia dipenjara selama 13 tahun di tahanan Salemba dan Nirbaya karena dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI). Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang dibentuknya tahun 1954, dituding berafiliasi dengan PKI.

Tokoh yang dekat dengan Soekarno, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie, dan tokoh-tokoh sosialis lainnya itu, ditangkap Kopkamtib. Setelah bebas tahun 1978, dia memilih tinggal di Amsterdam, Belanda hingga maut menjemputnya pada 20 November l98l.

Dia adalah Siauw Giok Tjhan, tokoh peranakan Tionghoa yang turut dalam pergerakan politik demi memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Namun, kebesaran nama nmantan Menteri Negara Urusan Minoritas itu tenggelam oleh gelombang pertarungan politik ideologis, yang berakhir dengan anarkis.

Siauw berkali-kali menolak dituding antek komunis. Dia menegaskan, perjuangan yang dilakukannya lewat Baperki adalah untuk menghalau diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa. Namun, rezim Orde Baru yang militeristik kala itu menerapkan jurus sapu bersih kepada semua warga negara Indonesia yang berbau komunis.

Di era revolusi, lelaki kelahiran tanggal 23 Maret 1914 di Surabaya itu adalah aktivis Baperki yang kemudian menjadi politisi di parlemen mewakili golongan Tionghoa. Lulusan Hogere Burgerschool (HBS), SMA Belanda, itu tertarik untuk terjun ke politik pada tahun 1930-an, setelah berkenalan dengan Liem Koen Hian dan bergabung dalam Partai Tionghoa Indonesia (PTI).

Garis politiknya pluralis. Dia memimpikan Indonesia dapat hidup adil dan makmur dalam keanekaragaman suku, agama, ras dan antargolongan. Karenanya, dia menentang kebijakan asimilasi yang diterapkan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan Kristoforus Sindhunata pada awal 1960-an. LPKB yang dimotori oleh para politisi katolik seperti Harry Tjan Silalahi, Onghokham dan sebagainya mencanangkan asimilasi sebagai terapi penyelesaian masalah Tionghoa.

Saat peringatan Hari Ulang Tahun ke-6 Baperki, pada 13 Maret 1960, dia mengecam keras cara-cara menyelesaikan golongan minoritas tersebut. “Cara itu tidak bijaksana, tidak demokratis dan melanggar HAM serta tidak dapat dilaksanakan (Harian Republik Jakarta, 14 Maret 1960).

Dalam artikel yang ditulisnya di Star Weekly, 2 April 1960, seperti dikutip dari buku berjudul: Peranakan Idealis, Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, Junus Jahja, Kepustakaan Populer Gramedia, 2003, Siauw menilai, pemaksaan pergantian nama, perkawinan campuran, atau memaksakan asimilasi biologis dan memaksakan pergantian agama adalah bertentangan dengan HAM dan demokrasi.

Siauw menyakini jika Republik Indonesia kelak tidak ada lagi paksaan terhadap kelompok minoritas karena Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila. “Saya yakin bahwa di Indonesia nanti tidak ada paksaan untuk mengganti nama, untuk mengadakan perkawinan campuran atau untuk mengganti agama.”

Dia menganggap, cara-cara pemaksaan itu tidak akan menyelesaikan masalah-masalah minoritas. Dia lebih memilih cara-cara bijak. Baginya, praktik diskriminasi rasial akan hilang jika terwujud masyarakat adil dan makmur.

“Dengan berakhirnya sistem manusia menindas manusia, akan berakhir juga bergeloranya nafsu dan adanya usaha mencari-cari alasan buat mengadakan diskriminasi rasial dengan tujuan menindas golongan kecil yang didiskriminasikan itu.”

Untuk memperjuangkan aspirasi itu, Siauw mendirikan Baperki. Organisasi yang didukung organisasi-organisasi Tionghoa lokal itu berhasil menjangkau seluruh Indonesia. Dari upayanya memobilisasi massa Tionghoa itu, Baperki berhasil duduk sebagai wakil Baperki di parlemen bersama Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng dan Oei Poo Djiang.

Selain memperjuangkan status kewarganegaraan etnis Tionghoa, Baperki membantu menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi. Pemikiran ekonomi Siauw pada dasarnya berhaluan sosialis yang menentang monopoli modal-modal perusahaan-perusahaan multi-nasional karena akan meruntuhkan usaha domestik dengan cara mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. kekayaan negara akan ditarik keluar dari Indonesia.

Dia beranggapan kebijakan ekonomi yang membunuh usaha domestik dan membangun jaringan multi-nasional akan merugikan Indonesia. Siauw lebih sepakat jika negara memberdayakan modal domestik yang keuntungan besarnya akan diperoleh pengusaha domestic.

Baperki juga aktif dalam bidang pendidikan, mendirikan sekolah-sekolah, salah satunya sebuah universitas di Jakarta, yakni Universitas Res Publica (yang sekarang dikenal sebagai Universitas Trisakti). Sebelumnya, di tahun 1958, Baperki mendirikan Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi dan Teknik. Pada 1962, dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer.

Sayang, organisasi itu memasuki ranah politik setelah banyak aktivis Baperki yang merupakan kader komunis. Ketidakberpihak secara ideologis yang dituangkan dalam konstitusinya mulai ditinggalkan dan berbelok ke PKI. Namun, Siauw tidak selalu mengetahuinya upaya elit komunis yang menyusup di Baperki. Dia pun kecewa dengan berbagai pernyataan elit PKI yang memanfaatkan Baperki untuk kepentingan politik. Siauw selalu menegaskan, Baperki bukan organisasi yang berafiliasi dengan PKI, massa Baperki bukanlah massa PKI.

Di era Revolusi, pada 1934-1942, Siauw memimpin di Harian Mata Hari, di Malang. Di zaman Jepang, dia bergerak di bawah tanah dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Di Malang, dia membentuk angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang diketuai adiknya, Siauw Giok Bie. Kemudian di tahun 1945, ia masuk menjadi anggota dan aktif di Partai Sosialis dan diangkat menjadi anggota Badan Pekerja KNIP pada tahun 1947. Dia juga pernah menjadi anggota parlemen RI Sementara, anggota DPR hasil Pemilu 1955 sebagai anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA.

Meski menjadi pejabat, dia tetap dengan kesederhanaannya. Saat menjadi menteri negara Urusan Minoritas, Siauw hanya naik andong (kereta kuda) untuk ke Istana. Dia sering kali dilarang masuk ke halaman Istana karena menggunakan andong. Saiuw juga pernah dililit masalah karena tidak memiliki rumah tinggal. Meski ditawari untuk tidur di Hotel Merdeka, ia memilih tinggal di gedung Kementerian Negara, Jalan Jetis, Yogyakarta dan tidur di atas meja tulis. Soal penampilan, Siauw selalu mengenakan kemeja dengan lengan pendek, berwarna putih, celana berbahan drill pantalon dan bersepatu sandal saja.

M. Yamin Panca Setia

Leave a comment