Algojo Intai Penanggung Utang

Keluarga almarhum Irzen Octa | ANTARA FOTO:Andika Wahyu

KEMATIAN Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa (PBB) Irzen Octa mengungkap aksi bengis penagih hutang (debt collector). Irzen tewas menggenaskan di tangan algojo yang disewa perbankan hanya karena telat membayar hutang.

Selasa, 29 Maret 2011 lalu, Irzen dibantai di ruang khusus Citibank di Menara Jamsostek, Jakarta Selatan. Korban tak mengira jika dirinya harus berhadapan dengan para algojo saat akan membayar tunggakan kartu kredit Citibank senilai Rp68 juta. Irzen dibantai tiga debt collector yaitu: Arief Lukman, Donald Haris Bakara, dan Henry Waslinton.

Sesudah diinterogasi, korban ditinggal sendirian. Sekitar pukul 13.00, ada karyawan lain melihat korban sudah jatuh mengeluarkan busa dan air liur. Dari hasil penyelidikan polisi, korban mengalami pecah pembuluh darah di bagian belakang kepala dan terdapat luka lecet di bagian hidung.

Aksi bengis yang dilakoni debt collector Citibank itu menuai kecaman dari banyak kalangan. Bahkan, sejumlah politisi di Senayan mendesak Citibank untuk hengkang dari Indonesia. Pernyataan itu disampaikan sejumlah anggota Komisi XI DPR saat menggelar rapat dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution dan Citi Country Officer (CCO) Shariq Mukhtar.

“Kami kecewa terhadap perilaku Citibank terhadap rakyat Indonesia yang semena-mena,” ujar Arif Budimanta, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan. Sebagai nasabah kartu kredit Citibank, Arif khawatir dirinya bakal jadi korban berikutnya. Karenanya, dia pun berhenti sebagai pemegang kartu kredit Citibank.

“Kami kembalikan, dan kami nyatakan berhenti menjadi nasabah dan anggota kartu kredit Citibank karena kami tidak mempercai sedikit pun dengan bank ini lagi,” tegasnya.

Aksi serupa juga dilakukan Meuthia Hafidz, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar. Dia menyerahkan kartu kredit Citibank karena pernah diintimidasi. Menurut dia, ibunya pernah diteror oleh Citibank pada tahun 2005 lalu. Saat itu, mantan wartawan Metro TV tengah di sandera saat meliput perang Irak.

Tak hanya itu, Komisi XI DPR juga merekomendasikan Bank BI untuk membekukan kegiatan penerbitan kartu kredit Citibank.

Nofrica Sinaga, 37 tahun, dosen Universitas Sumatera Utara (USU) juga menjadi korban debt collector Citibank Kantor Cabang Medan. Dia mengaku, pernah menjadi korban teror dari sejumlah orang yang mengaku dari Citibank.

Terdakwa dugaan kasus pembunuhan Irzen Octa, Arief Lukman (kiri), Henry Waslinton (tengah), Donald Harris Bakara (kanan) | ANTARA FOTO:Reno Esnir

Menurut Nofrica, dirinya sudah menjadi nasabah berbagai kartu kredit sejak tahun 2002. Saat itu, dirinya memiliki empat kartu kredit. Di tahun 2008, dua kartu kredit ditutupnya. Kini, dia masih menggunakan kartu kredit Citbank dan Bank Mandiri.

Awalnya, pelayanan yang diterimanya begitu baik. Namun di tahun 2011, dirinya sering mendapat perlakuan tidak pantas dari beberapa orang yang mengaku sebagai debt collector Citibank.

Cacian, makian, bahkan teror ke rumahnya di Kawasan Terjun, Kecamatan Medan Marelan, sering terjadi jika dirinya telat membayar cicilan kartu kredit. “Padahal saya hanya telat dua atau tiga hari karena kesibukan. Tetapi mereka sudah menelepon saya dengan kalimat kasar. Bahkan mengancam akan mengambil barang yang bisa dijadikan jaminan, ” ujarnya saat berbicang dengan Jurnal Nasional, Sabtu (9/4) di Medan.

Shariq Mukhtar tidak mengakui jika aksi tragis yang dilakukan debt collector terkait dengan operasional manajemen. Namun, dia memastikan, saat kasus Irzen terjadi, manajemen Citibank segera mengambil tindakan. “Saya memastikan, kami tidak menolerir sama sekali adanya tindakan yang melanggar yang dapat merugikan nasabah kami,” tegasnya.

Menurut Gubernur BI Darmin Nasution, agar kasus tersebut tak terulang, perlu aturan yang tidak hanya terbatas pada industri perbankan, namun pada semua lembaga keuangan lainnya. “Inisatif itu sangat penting karena tidak hanya menyangkut kepentingan nasabah secara lebih luas. Tapi, terkait juga dengan praktik penggunaan jasa debt collector di berbagai bidang,” ujarnya.

Dia mencontohkan, di Amerika Serikat dan Australia, diatur kejelasan mengenai otoritas tersebut dengan melembagakannya lewat UU. “Ini harus menjadi agenda penting pemerintah dan DPR.‘ Sementara BI, lanjutnya, akan segera menerbitkan aturan tentang penagihan.

Deputi Gubernur BI, Budi Rochadi menyatakan BI tidak bisa serta-merta langsung melarang penggunaan jasa debt collctor bagi kalangan perbankan di Tanah Air. Pasalnya, akan menambah beban biaya perbankan.

“Kalau dilarang, tentu bank harus menyiapkan karyawan tambahan untuk kinerja penagihan. Ini tidak bisa dilakukan seketika, karena ada hubungannya dengan penambahan beban operasional perbankan,” katanya.

Budi menampik bila BI dituding tidak tegas dalam perkara tindak kekerasan yang dilakukan debt collector terhadap nasabah. Budi menyatakan BI telah memiliki aturan tegas mengenai keterlibatan pihak ketiga dalam penagihan kredit terhadap nasabah yang telat membayar tagihan kreditnya. “Pihak bank bersangkutan yang harus melakukan pengawasan ketat terhadap tindak-tanduk debt collector yang disewanya,” tutur Budi.

Pengamat ekonomi perbankan Aviliani juga tidak sepakat jika debt collector dilarang. “Jangan langsung digeneralisir begitu lah. Toh kinerja debt collector ini sudah sejak lama dan tidak sedikit pula yang kinerjanya bagus. Tidak kasar seperti kasus (Irzen Octa) itu,” katanya saat dihubungi Jum’at pekan lalu.

Aviliani lebih menyarankan agar dibenahi Standar Operasional Prosedur (SOP) di lapangan. Misalnya, tidak boleh kasar dan menggunakan kekerasan. Pembenahan SOP dianggapnya penting karena selama ini belum banyak perbankan yang perhatian mengatur hal.

Aviliani juga menilai, penggunaan jasa debt collector secara out-sourcing selama ini cukup mengefisiensikan beban biaya pihak bank terkait operasional kinerja kreditnya. Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) itu juga khawatir akan menambah jumlah pengangguran dan meningkatkan level kejahatan di masyarakat.

“Mereka (debt collector) ini kan banyak orang bilang mantan preman, mantan pelaku kejahatan, dan sebagainya. Andai pandangan itu benar dan kerjasama pihak bank dan agen mereka (debt collector) ini dihentikan, itu kan sama saja mengembalikan mereka lagi ke dunia kejahatan,” katanya.

Aviliani menambahkan perlunya juga edukasi nasabah terkait hak-haknya dalam hal pembayaran tagihan yang terlambat. “Nasabahnya juga perlu dievaluasi, penting diedukasi karena tiap nasabah yang berhubungan dengan debt collector itu pasti yang sudah nunggak (tagihan kredit) cukup lama,” ujar Aviliani.

Kebiasaan buruk nasabah penunggak tagihan selama ini, kata Aviliani, selalu mendiamkan setiap surat panggilan dan teguran serta tidak kooperatif tiap kali dihubungi oleh pihak perbankan.

Padahal, tiap mengalami kendala dalam hal pembayaran, nasabah memiliki hak untuk mengajukan pemotongan bunga kredit terhadap bank bersangkutan. “Jadi kalau memang tidak sanggup membayar, jangan diam. Kooperatif lah. Sampaikan kepada bank yang bersangkutan, agar bunga kreditnya bisa dipotong atau bahkan dihentikan.” | M. Yamin Panca Setia/Taufan Sukma Abdi Putra/Roby Karokaro

Leave a comment